Well, bersyukur gue masih bisa hidup sampai saat ini, di tengah kekacauan dunia yang semakin menjadi. Banyak sekali hal yang pengen gue tumpahkan, kata indah, sungguh indah. Sumpah serapahku pada mereka yang menguasai hal yang tak mampu ia kuasai. Tapi itu cerita dilain waktu saja, sekarang mari gue lanjutkan cerita yang kemarin terputus.

Setelah praktikum pertama dan kedua, kami sudah mulai terbiasa. Ada barang yang kala praktikum sunnah muakad untuk dibawa, yaitu kalkulator sains. Ini kalkulator yang punya banyak tombol ajaib yang bahkan gue aja gak ngerti dan sepanjang pengalaman, jarang dipake juga. Tapi jadi hal krusial, karena gak boleh pegang HP selama praktikum. Kalau pakai kalkulator biasa, mana bisa dihitung cos sin tan. Jadilah benda ini benda keramat. Hanya manusia ajaib atau ajaib bodohnya yang tidak bawa kalkulator ini. Suatu hari, si dia, lupa bawa balik kalkukatornya di lab, jadilah gue volunteer untuk menyimpannya. kala itu gue gak tau kontaknya, jadi gue simpen aja, nanti kalau ketemu baru dikasih, fast forward, beberapa hari berlalu, gue lupa bahwa gue simpen kalkulator dia, sampai pada akhirnya dia sms gue, yes sms, saat itu hanya ada bbm (blackberry messager), tapi yang punya bbm saat itu hanya pertamina orang tertentu, dan gue bukan salah satunya. dia sms gue, gue lupa kata-katanya, intinya dia nanya kalkulator dia di gue kan, ya gue jawab “iya mau ambil? bayar dengan tubuhmu” gak, becanda. gue jawab iya. oke, setelah itu janjian di jam pelajaran, gue kasih lah ke dia. beberapa hari kemudian, dia sms, nanya praktikum modulus elastisitas ini gimana. fyi, dalam setiap praktikum, setiap kelompok berbeda praktikum, jadi jika gue minggu pertama dapat modulus elastisitas, kelompok lain dapet praktikum yang berbeda, yang kemudian akan digilirkan. kelompok dia baru dapat modulus elastisitas setelah beberapa minggu praktikum, fyi lagi, praktikum modulus elastisitas adalah praktikum tersulit dan dengan laporan terbanyak, dan gue dapat itu diawal kuliah gue, sungguh indah hidup ini. tapi ya karena kecerdasan temen gue itu, kami mampu melaluinya. gak juga sih, kami janjian ngerjain bareng dan kami sampai pada konklusi bahwa kami gak paham, akhirnya nanya senior, dan dikasih seabreg-abreg laporan praktikum senior tahun lalu, kami salin dengan menyesuaikan data yang kami dapat ketika praktikum 🙂 ngerjain hari sabtu pagi, untuk dikumpulkan sabtu sore, dengan perhitungan sebanyak buih dilautan. Tapi pada akhirnya kelar juga, entah berapa nilainya gue lupa, ga penting. Nah, si dia ini nanya modulus elastisitas laporannya seperti apa, gue jelasin bahwa ini sudah diluar nalar manusia, kemudian dia sms, full CAPSLOK, IYA BEGINI, gue lupa kata-katanya, tapi kurang lebih tentang dia curhat susah payah ngerjainnya, praktikumnya susah, laporannya juga susah dan dia gak ngerti, dan pada akhirnya menyerah nanya ke kelompok yang sudah. welcome to the club. praktikum modulus elastisitas seperti tentang mengukur elastisitas kewarasan kami.

Hmm.. sampai mana kita? Oh, sampai gue dikelompokan dengan cowo cerdas dari jawa. Tidak bermaksud rasis, tapi gue menekankan dia dari jawa karena dia cerdas dikampungnya, sedangkan gue, sekolah di ibu kota, masih aja bodoh dan kalah dari dia. Kalah dalam arti hampir segalanya, dia pinter bersosialisasi, berorganisasi, langganan 10 besar di sekolahnya, apalagi? cuma dia agak gaptek, wajar, dia dari kampung, tapi semangat dia tinggi. Next, setelah kami sekelompok, turns out dia adalah… jengjeng.. ya tetep pintar, tapi sekalipun itu, kami kesulitan mengerjakan laporan praktikum. Ada hal lucu pada praktikum kami pertama, praktikumnya adalah modulus elastisitas, intinya tentang mencari nilai elastisitas dari sebuah lempengan besi, kami baca cara praktikumnya, hal yang pertama kami lakukan adalah melepaskan besi yang menempel, tapi kok ya keras, susah banget untuk dilepas, tapi ya dengan tekad kuat, akhirnya lepas juga, kemudian kami bingung langkah berikutnya, kami tanya pengawas, ternyata besi yang kami lepas itu tidak seharusnya dilepas, konon katanya kamilah satu-satunya kelompok yang melepas itu sepanjang kampus ini eksis, fyi, kampus ini lahir tahun 1940an. selalu ada yang pertama untuk suatu hal.

Itulah awal gue kenal sama dia, kemudian kami deket, deket dalam arti dia suka nanya-nanya praktikum, karena bisa dibilang praktikum yang gue lakukan adalah praktikum yang 1-2 minggu kedepan gue lakukan, gue sudah menjalani apa yang akan dia jalani. Tapi dia bukan tipikal cewe yang nyontek full, dia usaha dulu, baru kalau mentok dia liat, kalau sudah dapat alurnya, dia kerjain sendiri lagi. itu yang gue suka. setelah beberapa waktu, gue kenal dia, dia pemalu tapi punya tekad kuat. Dia deketin orang-orang pintar di kampus, agar ia mampu lulus dengan nilai A. inceran dia kuliah dengan IPK 4. Makin tertarik gue. Setelah kami dekat, ternyata gue baru tau bahwa dia agnostik. Jenis makanan apa itu? well, agnostik adalah mereka yang ragu adanya Tuhan. Mereka bukan atheis yang dengan percaya diri bilang Tuhan tidak ada, tapi mereka adalah yang meragukan keberadaan Tuhan tapi dia gak sesombong atheis. Mereka cuma tidak yakin Tuhan ada, tapi mereka juga tidak bisa membuktikannya. Agnostik ada ditengah theis dan atheis. Boom. Dia ternyata begitu, kaget sih, tapi ya begitulah hidup. sejak saat itu, gue punya misi khusus untuk mengembalikan ia ke jalan yang benar, yang menurut gue benar.

Dari dia gue belajar bahwa perbedaan ada bukan untuk dibenturkan, tapi untuk kita ambil pelajaran. Untuk mengembalikan dia, gue harus punya ilmu yang kuat. Ini cerita bukan hanya tentang kisah cinta, tapi juga tentang perbedaan-perbedaan yang hitam dan putih. Betapa gue struggle dalam “mendebat” pemikirannya. Betapa kami mengatasi perbedaan kami sambil kami berjuang untuk lulus.

Leave a comment